It takes a village to raise a child. Begitu bunyi pepatah kuno dari Afrika. Kalimat itulah yang diucapkan psikolog Elly Risman dalam Seminar Pengasuhan Anak dengan tema “Komunikasi Pengasuhan Anak”. Seminar tersebut digelar komunitas Supermoms ID pada akhir pekan lalu di Jakarta.
Mungkin bagi masyarakat awam, tema seminar mengenai pengasuhan anak dinilai terlalu mengada-ada, atau ‘lebay’. Masa sih mengasuh anak saja harus ikut seminar? Bukankah itu bisa dilakukan secara alamiah?
Ternyata anggapan tersebut sudah kuno, bahkan boleh dianggap salah. Untuk membesarkan anak di masa kini, orangtua tak lagi bisa menggunakan metode yang dilakukan orangtua zaman dulu. Hasil penelitian para psikolog menyebutkan, banyak metode yang dulu digunakan para orangtua untuk membesarkan anak-anak mereka ternyata memberikan dampak negatif bagi perkembangan emosi anak.
Kita sebagai orangtua pada umumnya memang tidak siap menjadi orangtua. Rata-rata, orangtua tidak menguasai dua hal, yakni tahapan perkembangan anak dan cara otak bekerja. Ini tentu saja berpengaruh pada kepribadian dan masa depan anak.
Contohnya, banyak orangtua yang memberi games dan mengizinkan anak menonton televisi sejak balita. Saya punya klien, anaknya masuk SD dan minus 18 karena diperbolehkan menonton televisi dengan jarak sangat dekat sejak ia kecil. Kemudian, ada klien lain yang sudah diberikan games komputer dan PSP sejak usia tiga tahun oleh orangtuanya. Apa yang terjadi? Saat duduk di bangku SMP, ia drop out. Mogok sekolah,” tutur Elly.
Elly mengkritik kebijaksanaan orangtua masa kini yang terkesan membiarkan anak-anak mereka mengakses teknologi sejak usia dini. Tak jarang orangtua justru menyodorkan teknologi seperti televisi, games dan komputer untuk ‘menyogok’ dan membuat sang anak diam. Sehingga orangtua bisa melakukan kegiatan pribadinya tanpa terganggu anaknya sendiri.
Selain itu, sesuai judul seminar ini, Elly juga menyoroti cara berkomunikasi dengan anak. Pertama, menurut dia, adalah cara bicara. Jangan berbicara dengan tergesa-gesa karena biasanya, pesan yang disampaikan tidak akan didengarkan anak. Kemudian, bicara seperti akan menghasilkan kalimat-kalimat yang berdampak negatif pada anak.
“Akibat bicara tidak sengaja pada anak ada enam, yakni, melemahkan konsep diri, membuat anak diam, melawan, menentang, tidak peduli dan sulit diajak kerjasama, menjatuhkan harga dan rasa percaya diri anak, kemampuan berpikir menjadi rendah, tidak terbiasa memilih dan mengambil keputusan bagi diri sendiri, serta iri terus menerus,” jelasnya.
Kedua adalah orangtua harus mengenali dirinya masing-masing. Jika sudah mengenali dirinya sendiri, kenalilah diri anak dan pasangan. Dari situ, niscaya kunci komunikasi akan mulai dapat dibuka.
Yang ketiga adalah, banyak orangtua yang lupa bahwa tiap individu unik. Artinya, jangan pernah membanding-bandingkan anak dengan anak lain. Begitu juga suami atau istri dengan orang lain. Jika terus-terusan dibandingkan, bisa jadi, anak akan menderita krisis identitas karena tidak bisa mengenal dirinya sendiri sejak kecil.
Keempat, menurut Elly, adalah perbedaan antara keinginan dan kebutuhan. Banyak kesalahpahaman terjadi yang menyebabkan banyak hal yang tidak sempat dan terabaikan. Kelima, adalah tidak membaca bahasa tubuh anak. Keenam, tidak mendengar perasaan.
“Jangan anggap anak itu tidak punya perasaan. Hargai apa yang mereka rasakan. Jangan diabaikan,” tuturnya.
Poin selanjutnya, atau ketujuh, yang dikupas Elly adalah kebiasaan orangtua untuk kurang mendengar aktif. Di poin ini, ia juga mengkritik para orangtua, terutama ibu, yang terlalu mengandalkan pembantu atau pengasuh anak untuk mengurus anak-anak mereka.
Bagi wanita karier, misalnya, sudah seharian meninggalkan anak untuk bekerja. Setelah sampai di rumah, Elly meminta untuk memberikan perhatian seksama kepada anak-anaknya.
“Sudah seharian ditinggal ke kantor, eh di malam hari, anak masih dikasih ke pembantu. Prioritasnya mana? Juga jangan bohong kepada anak. Anak itu harus didengarkan secara seksama. Banyak fenomena ABG hamil di luar nikah atau pacaran sejak masih duduk di bangku SD adalah disebabkan karena mereka tidak punya teman curhat. Orangtua mereka tidak mau mendengarkan,” kisahnya.
Untuk poin kedelapan, Elly menjelaskan mengenai 12 gaya populer yang biasa digunakan orangtua sejak turun temurun untuk ‘mengontrol’ anak-anaknya. Keduabelas gaya itu adalah memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/memberi label, mengancam, menasehati, membohongi, menghibur, mengeritik, menyindir dan menganalisa.
Padahal, lanjutnya, anak hanya ingin didengarkan secara aktif. Mereka tidak perlu orangtua yang terus menerus menyalahkanm meremehkan atau menasehati, dalam segala hal.
“Jabatan dan gaji itu ada akhirnya. Jadi orangtua, nggak ada akhirnya kan? Jadi secapek-capeknya Anda dari kantor, usahakan untuk mendengarkan anak,” tambahnya.
Poin kesembilan, untuk menjadikan anak yang dewasa dan bertanggungjawab juga dibutuhkan komunikasi yang tepat. Elly menyebutnya dengan istilah ‘Tidak memisahkan masalah siapa.’ Biasanya, orangtua sulit untuk bisa tega kepada buah hatinya. Misalnya, anak ketinggalan PR di rumah dan ia minta diantarkan PR-nya ke sekolah. Jika orangtua menolak, berarti ia mengajarkan cara bertanggung jawab kepada anak.
“Kalau anak dihukum oleh gurunya, itu adalah salahnya sendiri. Hidup ini punya konsekuensi dan hal ini harus diajari sejak kecil. Kita tidak akan hidup terus untuk mendampingi anak-anak kita,” jelasnya.
Poin terakhir, atau kesepuluh, yang disampaikan Elly adalah selalu menyampaikan ‘pesan kamu’. Maksudnya, pisahkan kelakuan anak yang kurang Anda setujui dengan pribadinya.
“Ajari anak untuk marah dan mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, bukan tindakan. Pilihlah kata-kata seperti ‘Mama/papa merasa …. (kata perasaan) kalau kamu …. karena ….’ untuk menyampaikan pesan yang tepat kepada anak mengenai perasaan Anda,” kata Elly.
Sepintas, masalah komunikasi memang sepele. Namun, dampak yang diakibatkannya jika tidak dilakukan dengan hati-hati akan sangat fatal. Dari pengalamannya, Elly memberikan beberapa contoh yang ia pernah temui, yakni anak pacaran sejak usia SD, seks bebas di usia belasan tahun, aborsi di usia belasan tahun, putus sekolah, menikah muda, bercerai, narkoba, HIV/AIDS hingga bunuh diri.
“Jadi siapa bilang ngomong gampang? Masing-masing anak punya tanggungjawab sendiri-sendiri. Kembangkanlah dengan potensi dan karakter masing-masing,” tutupnya.
Ini saya share dari teman saya, karena sangat bermanfaat. Salam