Pertemuan itu terjadi Rabu, 12 Juni 2013 siang. Dena Rachman minta bertemu di restoran TWG, Plaza Senayan pas makan siang. Saya agak aneh sama restoran itu, gak familiar, posisinya ada di depan Sogo PS. Unik dan berbeda, didominasi warna emas dengan banyak kaleng2 berisi teh.
Saya sampai lebih dulu, ketika disodori menu, saya pusing membacanya (heheeh wong ndeso!). Nggak ngerti. Banyak jenis teh dari beberapa negara di dunia, katanya ada 500 jenis teh, kalau TWG aslinya di Singapura malah ada 800 jenis teh. Ketika melihat menu makanan, lebih pusing lagi bacanya. Untung tak lama, Dena Rachman muncul. Terlihat cantik, mengenakan dres selutut, rambutnya yang belah pinggir tergerai sebahu, wajahnya disapu make up tipis, dagunya panjang, giginya tertata kecil, bersih. Nyaris sempurna jika dia perempuan. Jari jemarinya lentik dilapisi kutek.
Sebelum ngobrol, kita pesan makanan dulu. Dia merecomendasi Egg Benedict (makanan apa itu?). Ketika makanan datang saya melongo. Dua roti bulat diatasnya dilapisi krem keju kuning, ketika dipotong dengan pisau, keluar telor dan lapisan daging asap. Rasanya? Kurang nendang untuk ukuran makan siang. hehehe
Mengobrol dengan Dena menyenangkan. Dia bicara apa adanya dan menjawab semua pertanyaan dengan enteng dan santai. Sambil makan siang, kita mengobrol seputar keinginannya untuk menjadi transgender serta perubahan yang dialaminya sejak kecil. Dena anak laki satu-satunya di keluarga, dia anak dari penari ACan Rachman yang terkenal di era 90-an.
“Aku sejak kecil memang sudah merasa ada yang berbeda. Aku itu bukan kayak anak laki kecil yang bandel gak bisa diem, lari-larian. Aku itu halus, suka main dandan-dandanan,” katanya dengan suara agak ngebas.
Mendengar suara Dena, seperti bocah laki yang akan puber tapi suaranya belum pecah. Begitu sih kesimpulan saya. Dena mulai menunjukkan perubahan dalam penampilan ketika masuk kulah di FISIP UI 2005. “Aku mulai pakai skinny jeans, kemeja motif bunga, sepatu flat, rambut agak panjang,” katanya.
Dia juga menjawab dengan santai ketika pertanyaan mengarah soal dirinya melakukan operasi atau tidak. Pasti semua pikiran orang mengarah sana. “Aku belum operasi, nanti saja,” katanya santai. Dena pun masih memelihata jakunnya, meski tidak terlihat menonjol, kalau diperhatikan, memang di bagian dagunya terlihat bulu halus yang belum sempat dicukur habis.
Yang membuat saya takjub dengan caranya menghadapi hidupnya. Dia mengaku ketika kecil suka bertanya-tanya kenapa tidak dilahirkan menjadi wanita atau laki-laki normal pada umumnya. Tapi, wondering itu berhenti ketika dia menyadari harus bersyukur dengan apa yang dialaminya saat ini.
“Aku bersyukur dilahirkan normal, maksudnya tubuh aku, gak ada cacat, aku sehat, aku bisa kuliah s2 di Italia, aku pinter, ada pekerjaan. Untuk apa aku bertanya-tanya terus. Toh setiap orang memiliki masalahnya sendiri. Aku yakin, Tuhan sudah memberikan peran untuk aku hidup seperti ini. Jadi aku all out aja, itu yang bikin lega dan happy,” kata Dena.
Tidak mau munafik, Dena menginginkan memiliki keluarga dan menikah. “Pastilah. Aku kan punya darah orang Indonesia, maksudku, kalau aku turunan bule, mungkin mereka lebih bisa memilih sendiri karena lingkungan juga. Kalau aku kan, lingkunganku semua menikah, aku juga ingin punya keluarga,” katanya.
Setelah nyaris 2 jam, pertemuan itu diakhiri. Saya melihat dia seperti seorang wanita pada umumnya, cantik, muda dan memiliki banyak mimpi.
Alia Fathiyah
menjijikan!!